klik in here..

Kamis, 29 September 2011

Minyak adalah Hantu Masa Depan

Sudan Selatan akhirnya menjadi negara baru yang memisahkan diri dari Pemerintahan Khartoum setelah hasil referendum 9-15 Januari 2011 yang mencatat 98,2% penduduk setuju dengan pemisahan.


Hal ini sekaligus mengakhiri konflik panjang antara warga utara dan selatan yang sudah berlangsung sejak 1956.Konflik etnis di Sudan sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari dan puncaknya adalah peristiwa Darfur yang mengakibatkan 200.000 orang mati dan sekitar 2 juta penduduk kehilangan tempat tinggalnya. Bagi Pemerintah Sudan, minyak adalah tumpuan bagi stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Tindakan apa pun dilakukan pemerintah untuk menjaga minyak mengingat penjualan minyak memberi kontribusi sekitar 92,6% atau 5,2 miliar USD dari total ekspor Sudan (Laporan IMF 2007).

Tragedi Minyak

Minyak memang dapat menjadi rezeki dan sekaligus tragedi. Bagi Negara Teluk, Arab Saudi, Norwegia, dan Kanada, kenaikan harga minyak merupakan keuntungan yang luar biasa. Sebaliknya, bagi sejumlah negara penghasil minyak, seperti negara-negara di wilayah subsahara Afrika yang umumnya bergantung pada minyak sebagai sumber pendapatan nasional,kenaikan harga minyak tidak banyak mengubah standar kehidupan penduduknya. Dalam indeks pembangunan manusia, posisi negaranegara ini tetap berada di posisi bawah. Gabon, Chad, Nigeria, dan Angola bahkan dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi rendah, tidak demokratis, korupsi tinggi, dan berpotensi perang sipil.

Studi Collier dan Hoeflier (2004) menunjukkan bahwa konflik sipil di negara yang tidak memiliki minyak hanya 0,5% dibandingkan dengan di negara kaya minyak yang mencapai 23%. Sejak 2000, sekitar 29 kasus peperangan yang memperebutkan kontrol atas minyak di Afrika Barat. Nilai lebih dari perdagangan minyak justru digunakan untuk menjaga kepentingan industri minyak sendiri. Amerika Serikat mengeluarkan biaya sekitar USD10 miliar per tahun untuk mempertahankan suplai minyak dari kawasan Teluk (Earthtrack, 2007).Di Chad dan Kamerun, penghasilan dari minyak lebih diperuntukkan untuk pembelian senjata dalam menghadapi dan mengintimidasi warganya yang menentang kebijakan pemerintah.

Pemerintah Sudan membelanjakan sekitar USD1 juta per tahun untuk senjata yang modern dalam mengatasi perlawanan penduduk Sudan Selatan. Minyak bahkan dipakai sebagai alat pengekangan hak asasi manusia. Suatu dokumentasi dari Center for Constitutional Right, USA menunjukkan ada kolusi perusahaan minyak dengan rezim militer Burma dalam menindas hak asasi manusia terkait pembangunan pipa minyak diYadana danYetagun. Yang lebih ironis adalah peningkatan produksi minyak ternyata berbanding lurus dengan kenaikan utang negara karena hasil dari minyak tidak memiliki korelasi positif dengan peningkatan GDP.Dalam buku Drilling into Debt(2005) dijelaskan bahwa 80 negara penghasil minyak justru dihadapkan pada utang yang melampaui batas.

Ekuador sebagai contoh, sekalipun produksi minyaknya mencapai 534.000 barel per hari,namun memiliki pinjaman USD13,3 miliar. Hal yang sama dengan Indonesia yang total pinjamannya sampai 1998 mencapai USD67,32 miliar, dengan angka pembayaran sekitar 30,72% dari total APBN. Fakta ini jelas menunjukkan bahwa negara yang ekspornya bergantung pada minyak cenderung semakin besar nilai pinjamannya.

Hantu Masa Depan

Kasus Sudan Selatan memberi gambaran bahwa minyak tak ubahnya seperti hantu di masa depan.Keberadaannya sangat menakutkan karena memicu dan menimbulkan konflik antarwarga untuk memperebutkan akses dan kontrol.Referendum yang menghantarkan Sudan Selatan menjadi negara adalah kebijakan terbaik yang mengakhiri era darah untuk minyak. Namun, bukan hanya konflik antarwarga yang menjadi hantu, kenaikan harga minyak juga sangat menakutkan karena akan membuat warga jatuh miskin. Melambungnya harga minyak menjadi beban bagi ekonomi kebanyakan negara pengguna (importir).

Di Indonesia contohnya,di mana setiap kenaikan harga minyak sebesar USD1 akan menambah beban subsidi BBM dan listrik Rp3,2 triliun. Saat ini asumsi harga minyak di APBN pada angka USD80 per barel. Jika harga minyak misalnya mencapai USD100 per barel, dibutuhkan tambahan subsidi sebesar Rp64 triliun. Ini pun karena Indonesia memiliki produksi minyak 900.000 barel per hari. Saat ini konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,15 juta barel per hari dan cadangan yang ada diperkirakan tinggal 4,050 miliar barel (CIAThe World Factbook, 2010). Ini berarti, produksi minyak akan berakhir 10 tahun lagi dan pada 2022 Indonesia akan mengimpor seluruh kebutuhan minyaknya. Sekalipun tidak ada yang dapat mengetahui secara tepat berapa cadangan minyak yang masih ada di perut bumi—jika prediksi tersebut benar—minyak betul-betul menjadi hantu di masa depan.

Dibutuhkan anggaran ratusan triliun rupiah setiap tahun untuk mengimpor minyak. Karena itu, kebijakan pengurangan atau bahkan penghentian subsidi sangatlah mendesak dilakukan dalam rangka penyediaan anggaran untuk membangun energi alternatif. Tanpa kemauan politik dari semua pihak untuk mengurangi subsidi, hampir dipastikan Indonesia ke depan akan mengalami krisis energi yang sangat dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar