klik in here..

Kamis, 29 September 2011

Pendidikan Anak (buat anak jgn coba-coba)


Buat anak sekarang, masuk sekolah bagus, pintar saja tak cukup. Perlu punya plusnya. Setidaknya ini di Amerika. Supaya diterima di universitas peringkat atas, selain otak encer, nilai tambah juga dilihat. Bisa aktivitas di luar pelajaran atau punya keistimewaan yang tak setiap orang punya. Jago meniup terompet, misalnya.
Nilai akademis mungkin tidak istimewa. Namun, jika memiliki kelebihan, jadi pertimbangan diterima universitas berperingkat. Yang nilai akademiknya di bawah persyaratan masih berpeluang diterima bila ada plusnya.

Bukan anak kutu buku
Menjadi anak kutu buku tentu baik. Namun, berkutat belajar saja belum tentu meraih sukses. Belum tentu memberi manfaat buat orang lain. Sekolah kita cenderung menjejali ilmu sampai anak muak belajar. Betul dengan begitu prestasi akademik bisa tinggi. Tetapi kalau dalam hidup anak jadi kuper, lalu buat apa?
Jika anak buta mengenali hiruk-pikuk, jatuh bangun, tak sederhananya kehidupan, umumnya gamang setelah terjun ke masyarakat. Kecenderungan orangtua sekarang serba melayani kebutuhan anak yang sebetulnya dapat mereka kerjakan sendiri, anak jadi gagal mandiri. Tak mandiri, anak tak terlatih mengambil keputusan, dan miskin kelebihannya.
Anak yang tahunya sekolah dan rumah saja panik jika melihat kenyataan di luar tidak seramah orang rumah. Jika anak tak mengenal jahatnya di luar, berisiko trauma melihat tidak semua orang yang dijumpai sejujur ibunya.

”Generasi platinum”
”Generasi platinum” sekarang ini bakal seperti itu. Gizi mereka berkualitas tinggi, hidup berkecukupan, dan serba diprotek. Itu sebab jiwa mereka rentan, berisiko kalah melawan kerasnya hidup. Anak kaget, di luar rumah dianggap biasa kalau orang berdusta.
Anak yang dibesarkan dengan ilmu saja (explicit knowledge) hanya berhasil survive di milieu yang santun. Hanya aman bila bekerja di bisnis keluarga, berada di lingkungan familiar, dan yang jalannya mulus tak berliku. Jadi panik dan gamang ketika dikelilingi intrik, dan penyakit hierarkiologic dalam bekerja. Ketika dunia di luar rumah menghalalkan sikut kiri, tendang bawah, jilat atas, bikin anak jebol ketahanan jiwanya.
Bukan cuma itu. Rata-rata anak kita bukan tergolong serba bisa. Skill for life mereka rendah. Tak bisa mencuci baju, menyetrika, dan mengerjakan semua kegiatan harian yang tak ada pembelajarannya. Level pengetahuan, kebiasaan, dan keterampilan yang tak ada buku teksnya, rata-rata anak kita rendah saja.

”Tacit knowledge”
Kekurangan rata-rata anak sekarang karena tak memiliki kemampuan yang tidak diberikan sekolah. Tak bisa kalau disuruh menjahit sendiri kancing baju yang copot, menyalakan kompor, atau menceplok telur. Tak berani menjadi berbeda (lateral thinking).
Banyak sekali ragam pengetahuan dan keterampilan di ranah yang tersembunyi di balik kecerdasan formal yang tidak dikembangkan di sekolah, padahal besar manfaatnya buat kehidupan. Tak cukup dengan memperluas wawasan di luar ilmu yang sekolah berikan. Anak harus melakoninya sendiri.
Tacit knowledge sesuatu yang sukar dipelajarkan. Namun, itulah nilai lebih bagi yang memilikinya. Anak di desa belajar berenang sendiri di sungai, tanpa baca buku, atau ada yang mengajarkan. Suku Dayak melepas anak mereka di hutan agar terampil membela diri dan cekatan berburu. Tanpa itu, hidup tak mulus dilakoni.
Anak kota tak bisa memasang seprai atau menyemir sepatu. Seni bergaul, bermasyarakat, dan segala yang berguna dalam membawa diri di luar rumah, pengetahuan yang tak tercatat, namun ada. Itulah juga yang tergolong tacit knowledge.

Tacit knowledge diperkenalkan oleh ilmuwan sekaligus filosof Michael Polanyi. Bentuk pengetahuan yang tersembunyi, tak ada di buku, tak mudah ditransformasikan, selain hanya terpetik dari pengalaman karena sudah melakoninya sendiri. Sejenis kemampuan memanah dan memancing kepiting, misalnya.
Tentu saja jenis pengetahuan ini sukar diukur dan dikodifikasikan. Ia bentuk-bentuk kebiasaan, keterampilan, dan kultur, yang melebihi dari yang bisa diungkapkan. Tak ada di buku teks bagaimana naik sepeda, selain pengalaman setelah melakoninya sendiri, contohnya.
Kini tacit knowledge dinilai penting karena di situ kekayaan human capital. Perusahaan maju di Jepang merekrut sumber daya manusia yang tinggi level tacit knowledge-nya (Ikujiro Nonataka dan Hirotaka Takeuchi, The Knowledge Creating Company, 1995).

Ternyata di situ potensi inovasi perusahaan. Anak yang tinggi level tacit knowledge-nya, cerdas kemampuan inovatifnya.
Untuk melahirkan anak yang bukan cuma cerdas pelajaran sekolah, metodologi pendidikan perlu ditukar. Seluruh ilmu mendidik mutakhir perlu diadopsi. Quantum learning dan lateral thinking dimanfaatkan. Termasuk neurolinguistic programming.
Masuk universitas terkemuka di AS, kini skor permintaan SAT di atas 2.000. Bush yunior yang diolok-olok skor SAT-nya konon hanya 1.400 ternyata jadi presiden juga. Opini publik AS menduga Presiden Bush tinggi level tacit knowledge-nya. Kelihatannya capres AS, Obama, juga memiliki kelebihan itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar